Cerpen 01
A Journey of Love - Eric & Rain
Jangan ngejudge judulnya sblm baca
Krn sesungguhnya gw payah bikin judul
:v
01
Pertemuan pertama mereka saat itu dalam sebuah klub
eksklusif di Milan. Eric mendekatkan lututnya, perlahan menyentuh kaki wanita
yang dingin—yang juga dikenal sebagai Regina, kekasih Mikhael, target utamanya
malam ini. Dia menatap perempuan itu dan menaruh segelas bir di atas meja. Perlahan
mendekatkan bibirnya sebelum menariknya dalam suatu ciuman panjang.
Regina mengerjapkan matanya liar, memeluknya dengan erat,
membalasnya dengan kecupan di dahi dan bibirnya. Eric memastikan kembali bahwa kekasih Mikhael
sudah tertipu oleh tipu muslihatnya malam ini. eyeliner hitam itu menusuk
iris merah marun miliknya, menampakkan sedikit keraguan.
Mikhael pria kekar yang dikenal baik di dunia mafia, salah
satu pembisnis handal di perdagangan gelap. Mudah sekali baginya untuk meremukkan
siapapun yang berani menyentuh kekasihnya tersebut.
Dia tersenyum licik. bila beruntung, Eric mungkin tak perlu
repot-repot melepas pakaian. Ia bersandar di bahu Regina, membisikkan sesuatu
di sela-sela lehernya dan menanamkan puluhan ciuman di sana.
“Mau ke kamar?”
Regina membalas dengan kecupan di pipi, terlihat seratus
persen setuju dan setia, Eric menarik lengan perempuan itu dengan lembut,
mereservasi satu ruangan sebelum kemudian mengajaknya masuk.
seorang wanita berambut merah menghentakkan kaki dan mengait
lengannya dengan paksa, terlihat marah dan melontarkan serentetan kalimat dalam bahasa mandarin—yang
ia sama sekali tidak ketahui maknanya. Eric melotot, mengutuk dalam hati. Rencananya sudah
berjalan cukup lancar sejauh ini dan dia benar-benar tidak ingin tahu mengapa
seorang perembuan yang kini berdiri di hadapannya—yang belum pernah ia kenal
sebelumnya—dapat mengacaukannya dengan begitu mudah.
Ia mencoba melepaskan diri dari genggamannya tetapi
perempuan itu menarik balik dengan tenaga dua kali lipat. Regina terlihat
marah, menggerutu sebal dan berkacak pinggang. Wanita berambut merah itu
menunjuk-nunjuk ke arah kamar mandi, menancapkan iris biru miliknya ke dalam
bola mata lelaki itu, semakin merajut rapat tangan mereka.
Eric tersenyum. bukan pertama kalinya ia mengalami kejadian
seperti ini. Salah satu kekurangan memiliki wajah yang (terlalu) tampan. “Sebentar
saja,” bisiknya terhadap kekasih Mikhael. ia berlari tergesa-gesa menuju arah
kamar mandi dan melepaskan tangannya secara paksa.
“Dengar, saya sama sekali nggak tertarik—“ sebelum ia dapat melanjutkan, wanita berambut
merah menarik kaos abu-abu Eric dengan kekuatan setara hormone testosterone gorilla
saat musim kawin, dengan ajaibnya mengeluarkan satu alat penyadap, membanting benda tersebut
ke arah mukanya.
Eric mengutuk untuk kedua kalinya malam itu. Regina pasti sempat
memasukkan saat mereka sedang berpura-pura menggoda satu sama lain. Kekasih
Mikhael tidak selengah yang ia bayangkan. Wanita di hadapannya mengeluarkan
beberapa erangan erotis beserta banyolan mandarin tidak jelas, mengisyaratkan dengan
bibir. Eric mengangguk.
Ia mengeluarkan rintihan-rintihan yang kurang lebih
terdengar seperti: “jangan cepat-cepat, ah, ya, ya, disitu”. Wanita berambut merah itu terlihat
kurang puas, ia mengernyitkan dahi dan memalingkan kepalanya.
Lebih keras, desisnya.
aku perlu mengendurkan bor.
Eric mengangguk tanda mengerti. Ia mengencangkan volume
hingga beberapa desibel dan menatap kagum saat wanita itu mengeluarkan
obeng serta sejumlah alat-alat untuk membongkar kaca jendela kamar mandi tersebut dari bra-nya. Ia memakan waktu sekitar 70 detik
agar semua bor terlepas tetapi Eric pikir itu 69 detik terlalu lama karena
suara rintihannya mulai terdengar seperti hippopotamus yang sedang melahirkan.
Wanita itu membuka jendela dan dengan lincahnya melompat
keluar. Eric salah menjatuhkan tubuh sehingga ia mendarat dengan posisi aneh.
Dia cepat-cepat berdiri, mengharap rambut merah dan mata sebiru lidah api namun
disambut oleh gang kosong, serta keheningan tengah malam
oOo
“Namanya Rain. Kami
mengirimnya untuk memberimu bantuan,” tanggap Roy, setengah cuek setelah Eric
datang ke kantornya dan menghamburkan sekian pertanyaan tentang ‘wanita gila’ itu. Roy menyelipkan satu
file hitam, dia menghembuskan asap dari rokoknya dan Eric berharap suatu hari
atasannya itu akan mati akibat kanker paru-paru. “Biodatanya ada di dalam file
ini. Ingat semuanya.”
Eric mendengus, dia tidak perlu memercayai intuisinya untuk
tahu kemana arah pembicaraan itu berlangsung. “Dan saya harus tahu, karena?”
Roy tersenyum, memamerkan deretan giginya yang tajam. Mungkin
Roy sadar bahwa Eric-lah yang menuangkan saus Tabasco ke dalam sandwichnya
beberapa hari lalu. “Kalian akan menjadi suami istri untuk misi selanjutnya.”
Mereka bertemu dalam airport. Eric melihatnya saat di
gerbang deportasi, tidak membawa apa-apa kecuali koper dan rasa penasaran yang
tinggi. Rain mengenakan baju vintage hitam, rambut merahnya dikepang, ditata
menjadi cepol. Tetapi orang manapun yang sudah melihat aksinya malam itu tahu
bahwa akting lembutnya tidak lebih dari ini.
“Darling…” dia memeluk Eric saat lelaki itu
menghampirinya. menakjubkan sekali bagaimana dia dapat mengubah kata yang manis
terdengar seperti kutukan vulgar macam preman kebanyakan. Pelukannya lebih
terasa seperti cumi-cumi raksasa yang menempelkan tubuhnya pada Eric. Lelaki itu
memutuskan untuk tidak lagi mengoleskan saus Tabasco pada sandwich Roy.
Eric Joshua punya banyak julukan, (pria tampan, magnet estrogen,
musuh terbesar pria menikah, dan sebagainya) tetapi dia tidak mudah
terpengaruh. Pria itu langsung menyambut bibir Rain tanpa kehilangan kendali.
Dia memasang senyum penuh kemenangan saat Rain mengedipkan matanya, terkejut.
Wanita itu memutar kepalanya dan membalas dengan senyum
menantang.
Misi mereka berjalan lancar. Satu-satunya masalah yaitu—
“Dua tulang iga patah, ruas jari hancur dan tulang leher setengah
retak,” ucap Roy, memeriksa laporan yang diberikan kepadanya lima hari lalu.
Eric mengangguk.
“Semuanya diberikan oleh partnermu,” Roy melanjutkan, memicingkan
kedua matanya, memerhatikan bekas gigitan yang tertanam di tangan kanan lelaki
itu.
“Saya sudah patahkan tangan kiri dan kaki kanannya.” dia
mengangkat bahu, mencoba untuk terlihat secuek mungkin bahkan ketika setengah
tubuhnya luka-luka dan setengahnya lagi dilapisi perban. “Saya rasa sudah cukup
adil.”
Roy tersenyum puas. “Ternyata ada baiknya juga cewe itu,” ia
menyahut. “Mungkin selama seminggu ini aku tidak perlu mengawasi makananku—oh
dan juga tiga dinamit yang kau taruh di balik lemari.”
Eric menggigit bibir. rencana ke dua ratus sembilannya untuk memusnahkan Roy dari dunia gagal.
oOo
Kali ketiga mereka bertemu benar-benar tidak terencana.
“Cinta…” Rain berlari
dan melemparkan tubuhnya kea rahnya saat mereka bertemu lima minggu kemudian di
suatu taman. Ia mengecupkan bibirnya dengan tiba-tiba, membuat para ibu
menutupi mata anak mereka. “Lelaki arah jam 12, pengedar narkoba di mafia,” dia
berbisik, pelan. Selalu saja seperti ini. Eric pikir seharusnya dia sudah mulai
lelah akan rutinitas konyol mereka, tetapi tidak.
“Menarik,” ujarnya. “Perempuan rambut ungu, belakang air
mancur. Mata-mata Vietnam.”
Dia mengaitkan tangannya, menyatukannya dengan tangan Rain
yang kasar.
“Jadi,” Eric memulai pembicaraan. “Berapa bulan ini?”
“Sembilan,” Rain tersenyum bangga, memamerkan senyum
terindah seakan dia bukan anak setan. orang-orang di sekitarnya tersenyum dan
mengomentari ‘pasangan penuh kasih sayang’ tersebut.
“Dua belas,” Eric mendengus. “Kau melembut, Rain.”
Perempuan itu mengeratkan gengamannya pada tangan Eric
kencang-kencang, membuat lelaki itu semakin mantap untuk mengunjungi dokter tulang esok hari. “Senang
mendengarnya, Sayangku..” Dia berkata
seraya menggertakkan gigi. Mereka
berjalan kea rah tempat yang relatif cukup sepi di taman, kehilangan arah si
pengedar narkoba. Tetapi dari sudut matanya, Eric suasse memergok mata-mata Vietnam
dan mulai menutup jarak di antara mereka, diikuti tiga pria dibelakangnya.
Rain melihat kesana kemari, dan setelah memastikan area
tersebut aman dari jangkauan warga sekitar, melepaskan genggaman tangannya, senyum
lembutnya hilang seketika. Ia mengeluarkan sebuah pistol dari balik kemeja,
terlihat masih baru. “AK-47.”
Eric memiringkan kepalanya saat dua peluru meluncur dengan
kecepatan tinggi.
Rain tersenyum sadis.
oOo
Mereka bertemu sebulan kemudian, terpisahkan oleh kaca
tebal serta cahaya silau lampu rumah sakit, bau obat-obatan yang menyengat
hidung.
Rain tergeletak di atas kasur putih, untuk pertama kalinya
terlihat diam dan tenang. Tidak bisa bicara sepatah katapun. Sekujur tubuhnya
ditancapkan puluhan kabel dan mesin-mesin canggih, serta alat detak jantung yang
menampakkan aliran nadinya.
“Siapa,” tanya Eric, meluruskan pandangannya kea rah Roy, memastikan
agar ia terdengar sekasual dan sesantai mungkin. “Yang melakukan ini?”
Roy menatapnya. Satu tes atas lima tahun hubungan mereka
yang dijalin murni atas rasa benci dan antagonisme sesama lain, sehingga Roy
menghela napas dan perlahan berkata, “Saya melarangmu mengejar mereka. Kau bisa
mati. Para atasan akan membunuhku.”
Hari selanjutnya, Eric pergi bekerja, pikirannya melambung
kemana-mana. lebih tepatnya, merancang ratusan siksaan yang dapat mengirim Roy
langsung ke liang kubur, atau setidaknya membuat atasannya itu menderita penuh.
Dia membuka lacinya, mendapatkan satu file hitam yang dimasukkan secara asal,
dan memutuskan untuk menahan siksaanya, hanya untuk sekali ini.
“Dasar bodoh,” komentar Rain seminggu kemudian, saat mereka
bertukar tempat dan kali ini Eric yang terbaring lemah di atas kasur rumah
sakit, berusaha untuk tidak bergerak terlalu banyak agar tidak membuka jahitan
yang terletak di bagian bawah tulang rusuk-nya. Rambut Rain diikat berantakan dan ia
memiliki jahitan besar di pipi kirinya, tetapi Eric yakin ia sudah di ambang
kematian karena dia baru saja berpikir wanita itu terlihat menawan, hampir
seperti berkilau.
dia beruntung karena belum melewati gerbang neraka. Dengan
susah payahnya memaksakan senyum, menghiraukan busa yang bergerumul di dalam
mulut seraya berkata dengan nada mengejek.
“45 target bulan ini.”
“45 target bulan ini.”
“Persetan,” Roy mengumpat. Eric memasang earphone di sebelah
telinga, diam-diam berkomentar kalau atasannya itu harus berhenti mengatakan
kalimat itu karena sudah kesepuluh kalinya dia mengucapkan persetan setelah resmi menobatkan Rain sebagai partner Eric dua tahun lalu.
“Kalian membuat kerusakan sebanyak sepuluh ribu dolar di
restaurant di Beijing. Target kita seorang pria yang tinggal di tengah-tengah
Saudi Arabia. Apa yang kalian lakukan di
restaurant di Beijing?!” dia membanting tagihan sepuluh ribu dollar di
meja. Keras. Ditambah teriakan campuran antara histeris dan frustasi, yang
lebih terdengar seperti orang stress yang tidak kuat lagi menjalani hidup.
“Saya ingin melamarnya.”
Batang rokok Roy terjatuh, membakar dokumen-dokumen penting
di atas mejanya. Eric melempar sebotol penuh air , setengahnya untuk memadamkan
api, setengahnya lagi dilempar kea rah wajah atasannya.
“Kau… Kau melamarnya…”
Roy mengulang kalimat tersebut, tidak memedulikan air yang membasahi bagian atas tubuhnya.
“Entahlah. Dia marah-marah karena menurutnya saya melamar
dengan cara yang kurang tepat…” Eric berkata cuek. Dia tidak yakin apa yang
kurang sempurna. Ia membeli cincin, menyeret Rain ke dalam restoran, melempar
cincin itu di atas meja dan berkata ‘menikahlah denganku, wahai homosapiens’
lalu sedetik kemudian wanita itu mengamuk besar. Susah sekali memuaskan perempuan zaman sekarang, gumamnya dalam
hati.
“Dia setuju pada akhirnya,” Eric tersenyum senang. “Kau akan
membayari pernikahan kami, kan? Di kontraknya tertulis begitu.”
oOo
Mereka kabur dari pernikahan yang hanya berlangsung kurang
lebih dua puluh menit.
“Jadi, kita kemana sekarang?” Eric bertanya setelah Rain
berlari keluar tepat sehabis mengucapkan sumpah serapah sesuai abal-abal tradisi pernikahan atau semacamnya, entah. tidak ada yang peduli. “Kita seharusnya
pergi bulan madu, kau tahu.”
Rain melempar senyum yang untuk sesaat terlihat hampir manis. Hampir. “Mana saja.”
“Ada ratusan mafia yang bermigrasi ke Peru tahun ini. mau ke sana?”
Eric mengusulkan.
Rain tertawa kecil.
“MAU!”
Komentar
Posting Komentar