PATRIOTISME DALAM BATARA
dalam rangka lomba gebyar Bahasa
“Sudah, sudah. Jalani saja dulu,” dalih Reina. “Akan lebih baik kalau kita datang saat hari pertama latihan, agar tahu informasi untuk kedepannya.”
“Kalau bisa, sih, yang jago,” tambah Aisha. Matanya menelusuri sepuluh ipa satu dengan tampang datar. Kriteria menjadi pemimpin upacara itu yakni memiliki suara yang lantang. Paduan suara tentunya yang pandai menyanyi. Dan untuk menjadi Pembina upacara memiliki kewajiban membuat pidato, menghafalkannya dan mengumandangkan di tengah-tengah lapangan dengan pengawasan dewan juri.
PATRIOTISME DALAM
BATARA
Sore itu matahari bersinar kurang lebih dua derajat lebih
tinggi dari biasanya. Ruang kelas yang difasilitasi AC pun sepertinya tidak
banyak membantu suasana yang panas dan jenuh. Hal tersebut semakin membuat kelas
sepuluh ipa satu yang baru saja menjalani ulangan fisika merasa semakin stress.
Alden, yang menjabat sebagai ketua kelas pun menyahut. “Kalian pada pulang aja,
jangan mengeluh gitu. Besok ada ulangan Biologi.”
“Gimana mau pulang?” ujar Alifia seraya mengemas
perlengkapan tulisnya. “kita kan ada BATARA. Mungkin baru balik sekitar pukul
lima.”
Ricuh pun mulai muncul dalam kelas. Kebanyakan adalah protes
mengenai jadwal yang bentrok dengan aktivitas lain, atau komentar tentang
kekurangan waktu untuk belajar ulangan. Bahkan beberapa warga kelas yang
mengikuti ekskul paskibra pun merasa kurang bersemangat.
BATARA, yang merupakan akronim dari lomba tata upacara
merupakan sebuah program kerja paskibra yang wajib diikuti oleh kelas sepuluh. Sebelum
menjalani lomba, akan diadakan pelatihan terlebih dahulu didampingi kakak kelas
paskibra. Pelatihan bisa memakan waktu sepulang sekolah, atau saat hari libur. Mendengar
hal tersebut, siapa yang tidak akan merasa waktunya terbuang sia-sia?
“Sudah, sudah. Jalani saja dulu,” dalih Reina. “Akan lebih baik kalau kita datang saat hari pertama latihan, agar tahu informasi untuk kedepannya.”
Setengah dari mereka pun berjalan—dengan modal niat yang
hanya secuil, ke sebuah tanah, yang sebetulnya kurang lazim disebut lapangan—di
luar area sekolah. Setengahnya lagi memilih untuk pulang, entah untuk ikut
bimbingan belajar, ataupun nongkrong dengan rekan-rekan mereka.
Christopher Jonathan memilih untuk mengikuti pelatihan
BATARA di hari ini. Bukan karena ia terpaksa, namun karena ia merasa tidak ada
hal yang menyenangkan untuk dilakukan di rumahnya (dan ia sama sekali tidak ada
niat untuk belajar biologi). Suasana hatinya pun tidak begitu damai,
dikarenakan tadi pagi ia baru saja mengalami insiden dengan kepala sekolah yang
menyebabkannya dipanggil ke depan saat upacara. Dia bukan tipe orang yang
terlalu memikirkan hal tersebut, namun hal itu cukup membuat suasana hatinya menurun.
Setelah menjalani ibadah yakni shalat ashar kemudian jajan
di sekitaran area sekolah, mereka bertemu dengan kakak kelas perempuan;
dua-duanya memakai jilbab dan topi paskibra bernuansa biru muda. Mereka memperkenalkan
diri dengan senyum yang terkesan ramah.
“Selamat datang di latihan BATARA pertama kalian, Gue Aisha dan
temen gue,” dia menepuk bahu rekannya. “Adristi. Kita bakal mendampingi kalian
selama latihan, mohon kerjasamanya ya.”
Mereka menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam untuk
menentukan posisi saat upacara. Siapa yang akan menjadi peserta, anggota paduan
suara, pengibar bendera, pembina, pemimpin, pembaca doa, dan lainnya.
“Jadi siapa dari kalian yang pengen jadi peserta?” tanya Adristi
sembari memegang daftar apsen. “Peserta itu harus lima belas orang. Nggak boleh
lebih maupun kurang.”
“Kalau bisa, sih, yang jago,” tambah Aisha. Matanya menelusuri sepuluh ipa satu dengan tampang datar. Kriteria menjadi pemimpin upacara itu yakni memiliki suara yang lantang. Paduan suara tentunya yang pandai menyanyi. Dan untuk menjadi Pembina upacara memiliki kewajiban membuat pidato, menghafalkannya dan mengumandangkan di tengah-tengah lapangan dengan pengawasan dewan juri.
“Chris, lo aja jadi Pembina,” sahut Alden spontan. “Biar
kepala sekolah punya penilaian yang lebih baik terhadap diri lo.” Dia tersenyum—setengah
mengejek.
“Ah, males banget,” tanggap Chris seraya kembali
mencantumkan earphone, mendengarkan
sederetan lagu klasik yang terdapat dalam playlistnya. “Mending gue hafalin sin
cos tan.”
“Ayolah. Kalau bukan lo, kayaknya nggak bakal ada yang mau.”
Alden senantiasa membujuk. Chris hanya menunduk karena dia belum ada niat untuk
melakukan hal tersebut. Dan mungkin niat itu tidak akan datang karena dia
terlalu malas membuat pidato.
Diskusi berlangsung bersamaan dengan beristirahat selama
sepuluh menit. setelah itu mereka melanjutkan sesi latihan sampai setengah jam dan
menutup tepat pada pukul lima sore, dengan peserta yang lebih sedikit daripada
sebelumnya.
“Jadi ini lima belas orang udah gue data jadi peserta. Khusus
15 orang ini, gue minta tolong ya, jangan malas latihan PBB,” ucap Aisha saat
menutup pelatihan.“Pengibar bendera, juga. Saat jalan, kalian usahakan kompak. Kita
belum kedapatan latihan di lapangan inti, tapi jangan sampai malas, ya. Selamat
pulang ke rumah masing-masing, hati-hati di jalan!”
“Terimakasih, kak.” Sepuluh mia satu berucap serempak,
kemudian setelah aba-aba balik kanan bubar, mereka bergegas mengemas tas
masing-masing dan berjalan kea rah yang berlainan.
Hari-hari pun berlalu, sampai akhirnya kurang lebih dua minggu
mereka berlatih di sekolah. Chris sesekali membawa bulu tangkis, atau hal-hal
lainnya yang sekiranya dapat melepas kejenuhan. Dia mendapat motivasi dengan
melihat kelas-kelas sepuluh lainnya, yakni sepuluh ips satu dan sepuluh ipa dua
yang berlatih di daerah yang sama di saat yang sama pula.
Entah kenapa, mereka terkesan sangat ambisius untuk menang;
Chris tahu karena banyak sekali dari anggota kelas yang menghadiri. Dan bukannya
sepuluh ipa satu tidak berniat untuk memperebutkan piala, tetapi kebanyakan dari
mereka tidak terlalu serius untuk berlatih. Banyak yang apsen tanpa alasan, dan
banyak juga yang ogah-ogahan.
Hingga tibalah saatnya, hari ini, tepat H-1, latihan
terakhir untuk batara tahun ajaran ini. karena kak Adristi berhalangan hadir,
latihan tidak terlalu serius. “Ayolah, kalian,” kata Chris sambil melipat
tangannya. “Udah H-1, lho. Tolonglah, waktunya jangan dibuang sia-sia. Kita pengen
menang, kan. Kita harus bisa mengamalkan persatuan dan patriotisme dalam batara
ini, tolong ya. Jangan menyerah terlebih dahulu. Ini kesempatan sekali seumur
hidup, lho.”
“Betul, tuh,” tanggap Alden. “Jangan nyerah, ya. Kita pasti
bisa, kok!”
Keesokan harinya, saat tiba harinya lomba, tidak dapat
dipungkiri bahwa banyak kesalahan yang terjadi, tetapi mereka tetap menjalankan
dengan sebisanya dan saat hari pengumuman, Christopher Jonathan mendapat
penghargaan beserta piala yang menandakan Pembina terbaik.
Dengan latihan batara kali ini, siswa siswi sepuluh ipa satu
menyadari betapa pentingnya patriotisme dan kerja keras dalam lingkungan
sekolah. Dan walaupun mereka bukan pahlawan masa lalu, setidaknya mereka dapat
menjunjung tinggi patriotisme serta persatuan dalam menjalankan upacara
kenegaraan.
Komentar
Posting Komentar